Kami di Lembaga Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia sangat mengapresiasi Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) RI atas bantuan mereka. Terima kasih banyak!
Kami berterima kasih kepada Padma Indonesia dan KPPPA yang telah memulai program advokasi kebijakan publik untuk mencegah tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dan migrasi ilegal di Nusa Tenggara Timur. Ini merupakan upaya yang sangat penting dalam melindungi hak asasi manusia dan mempromosikan keamanan dalam kegiatan perjalanan.
“Kami akan memulai di Lembata dan kemudian meluas ke Ngada dan 20 kabupaten/kota lainnya di NTT,” ujar Ketua Dewan Pembina Padma Indonesia, Gabriel Goa dalam pernyataan yang diterima oleh media.
Menurut Gabriel, Kabupaten Ngada telah memiliki regulasi mengenai pencegahan TPPO. Namun sayangnya, implementasinya belum optimal dan membutuhkan lebih banyak upaya untuk ditingkatkan.
Untuk mencegah migrasi ilegal yang rentan terhadap perdagangan manusia, sangat penting untuk memiliki layanan terpadu satu atap (LTSA) dan balai latihan kerja pekerja migran Indonesia (BLK PMI). Dengan adanya fasilitas ini, para pekerja migran dapat mendapatkan bantuan dan pelatihan yang diperlukan sebelum memutuskan untuk bepergian ke luar negeri.
Menurut Gabriel, tindakan pencegahan dan perawatan bagi korban TPPO harus dilakukan secara terpadu. Ini termasuk menyelamatkan korban, memberikan pendampingan psikologis, kesehatan, spiritual, integrasi masyarakat, bantuan hukum, dan reintegrasi ke masyarakat sebagai penyintas. Semua ini adalah bagian dari program GEMA HATI MIA NTT (Gerakan Masyarakat Antihuman Trafficking dan Migrasi Aman Nusa Tenggara Timur) yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam melawan TPPO.
Sebelumnya dilaporkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) telah memfasilitasi layanan untuk 12 Warga Negara Indonesia (WNI) Pekerja Migran Indonesia (PMI) kelompok rentan yang dipulangkan dari Malaysia.
Menurut Atwirlany Ritonga, Penjabat Asisten Deputi untuk Pelayanan Anak dengan Perlindungan Khusus (AMPK), tim SAPA telah bertindak cepat dalam menangani kasus ini. Mereka sudah berhasil mengamankan anak tersebut, memberikan tempat perlindungan sementara di rumah aman SAPA, dan melacak keluarganya. Selanjutnya, mereka juga akan menyediakan layanan lain yang dibutuhkan sesuai hasil evaluasi.
Pada tanggal 10 Juni 2024, kami melakukan penjemputan terhadap 12 WNI kelompok rentan dari berbagai daerah seperti Jawa Tengah, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, dan Sumatera Selatan. Mereka saat ini sedang ditampung di rumah aman SAPA dan menerima layanan asesmen dari Psikolog Klinis dan Pekerja Sosial yang disediakan oleh Kementrian PPPA. Penanganan kasus 12 WNI kelompok rentan tersebut dimulai dari rujukan Kementerian Luar Negeri melalui PWNI dan KBRI Kuala Lumpur di Malaysia pada akhir Mei 2024,” jelas Atwirlany dalam pernyataan yang diterima oleh media.
Menurut Atwirlany, kasus yang paling sering dihadapi oleh PMI adalah masalah keimigrasian. Banyak dari mereka bekerja tanpa visa, menjadi pekerja imigran ilegal, atau melewati batas waktu tinggal (overstay). Ada juga dugaan bahwa beberapa dari mereka telah menjadi korban perdagangan manusia. Setelah menjalani masa penahanan, pemerintah Malaysia mendepotasikan mereka kembali ke negara asal.
Komitmen Kemen PPPA adalah memberikan perlindungan dan pelayanan terbaik bagi WNI/PMI, terutama kelompok rentan seperti ibu dan anak. Hal ini sesuai dengan Perpres 65 Tahun 2020 yang menugaskan layanan tambahan untuk perempuan dan anak korban kekerasan. Kami juga bekerja sama dengan Ditjen Capil Kemendagri untuk merekam data biometrik dan pencatatan sipil WNI/PMI untuk mengidentifikasi kependudukan dan domisili ibu serta anak secara akurat.
Menanggapi hal ini, Ketua Dewan Pembina Pelayanan Advokasi untuk Keadilan dan Perdamaian (Padma) Indonesia Gabriel Goa berharap ada tindakan dari Kemen PPPA untuk menangani masalah ini.
Program pemulangan tidak hanya mengirim orang kembali ke kampung halaman mereka, tetapi juga harus menyertakan pendampingan lanjutan seperti dukungan psikologis, kesehatan, rohani, hukum TPPO (tindak pidana perdagangan orang), dan program reintegrasi. Hal ini bertujuan agar mereka tidak terjerat lagi oleh pengaruh buruk mafia perdagangan manusia yang beroperasi di negara tetangga.
Gabriel menegaskan bahwa kepolisian harus segera menangkap pelaku dan otak dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) untuk menciptakan efek jera. Kami berharap hukum ditegakkan dengan tegas untuk memastikan keadilan bagi korban dan mencegah kejahatan semacam itu terjadi lagi.
Dia juga menyarankan agar pemerintah pusat dan daerah segera membentuk sebuah gugus tugas untuk mencegah dan menangani TPPO. Ini harus menjadi prioritas utama.
Ada tiga langkah penting yang harus diambil untuk membantu pekerja migran. Pertama, merancang layanan terpadu yang mencakup semua kebutuhan pekerja migran. Kedua, bekerjasama dengan lembaga agama dan perusahaan legal untuk membangun BLK PMI profesional yang dapat memberikan pelatihan berkualitas. Dan ketiga, secara aktif melawan jaringan human trafficking dengan menghentikan praktik abal-abal dan memastikan profesionalisme dalam industri Pekerja Migran Indonesia.
“Menurut Gabriel, Presiden Prabowo Subianto harus segera membentuk Badan Nasional Penanggulangan Tindak Pidana Perdagangan Orang (BNP TPPO) sebagai langkah untuk mengatasi masalah perdagangan manusia yang sudah mencapai tingkat darurat di Indonesia.”
Sangat penting bagi Presiden Prabowo untuk menyelamatkan ribuan anak Indonesia yang menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) melalui penipuan online yang menyebar ke Kamboja, perbatasan Myanmar dan Thailand, serta Filipina.